Interesting old drawing I found

Upon opening up some old archives, I stumbled upon a particular illustration I made back in August 2011.

Hehe-rev.png

What do you think? I think anyone on my Facebook back then would probably have seen this before.

I thought it’s a pretty funny take on how I feel about the situation at hand back in the day, and now – roughly 9 years later – I could see how little things have changed. In fact, certain things on the social/religious sphere is getting more out of hand by the looks of it.

However, personally, I think I’ve had much less pressure and expectations being put on me regarding this matter. Which is a good thing to know.

Signed,
Teguh Li
Friday, 17 Jan 2020

Bagaimana caranya untuk menjadi desainer grafis yang kaya akan ide-ide kreatif?

Pertanyaannya sangat menarik, namun sejauh pengalaman saya mengajarkan saya, sepertinya agak sulit untuk mendefinisikan cara-cara yang tepat dan surekill atau super effective dalam menjawab pertanyaan ini. Ini dikarenakan bidang kreatif seperti seni dan desain secara umum, adalah … yah, sebuah bentuk seni.

Sebelum saya ke jawaban aslinya, perbolehkan saya menjelaskan beberapa hal tentang seni dan desain terlebih dahulu untuk memberikan sedikit konteks.

Sejatinya, yang namanya seni, seringkali itu adalah satu hal yang sangat bersifat subjektif. Satu hal yang kreatif atau memukau di mata 1 orang belum tentu dianggap demikian untuk orang yang lain. Tidak jarang juga, sebuah karya seni atau desain yang pada zaman tertentu dibuat, belum tentu juga dimengerti atau diapresiasi sebagaimana seharusnya. Beberapa contohnya, seperti karya pelukis Vincent Van Gogh yang baru diapresiasi setelah beliau sudah wafat, atau sketsa-sketsa karya penemuan Leonardo da Vinci yang dinilai terlalu aneh dan tidak masuk akal pada saat beliau masih aktif berkarya. Padahal, jika dilihat kembali ke belakang, walau banyak desain dari Da Vinci itu memang tidak praktis, faktanya dia tetap bisa membayangkan hal-hal ini di abad ke-15 saat ilmu sains dan teknologi modern itu baru sekali mulai populer di abad ke-19.

Da Vinci Inventions.jpg

Gambar 1: Kolase sketsa-sketsa yang dibuat oleh Leonardo Da Vinci. Kebanyakan dari gambar ini dibuat di era-era keemasan renaissance di abad ke-15. Gambar dari berbagai sumber.

Atau sebagai contoh lain, terkadang ada juga kasus-kasus di mana suatu karya seni atau desain tidak diapresiasi di lingkungan seniman/desainer itu, namun ternyata bisa diterima dengan sangat baik di negara lain yang mungkin lebih sepaham dengan si seniman/desainer dan karya seni atau desain mereka.

Jadi selain sifat dari seni itu sendiri dan subjektivitas akan suatu nilai estetika, terkadang sepertinya memiliki suatu “ide kreatif” pun adalah satu hal yang bisa dibilang sangat subjektif. Betapapun kreatifnya ide yang kamu miliki (atau kamu rasa kamu miliki), kalau saja tidak bisa diterima atau tidak dimengerti orang-orang yang ada di sekeliling kamu, atau mungkin tidak ada yang mau mengerti (walau bisa saja idenya sebetulnya bagus), rasanya juga percuma memiliki banyak “ide kreatif” kalau saja kekreatifan kamu itu tidak dinilai demikian.

Memang sedih ya jika melihat fakta di lapangan ini itu seperti ini, tapi yah, namanya juga kita berada di bidang seperti ini, sulit namanya luput dari penilaian publik dan orang-orang di lingkungan kita, karena memang dari zaman dulu, seni itu adalah satu bidang yang sering dipandang sebelah mata. Fakta bahwa “desain” itupun adalah seni komersial sepertinya tidak terlalu membantu dalam mengangkat derajat dari desain secara keseluruhan, walau sekarang saya mulai melihat banyak anak-anak muda yang mulai mengembangkan ide-ide desain baru nan kreatif di mana-mana.

Kafe Jakarta.jpg

Gambar 2: Kolase berbagai contoh kafe-kafe dan tempat nongkrong yang bertema desain unik yang ada di Jakarta. Gambar dari berbagai sumber.

Nah, sekarang menuju pertanyaannya:

Bagaimana caranya untuk menjadi desainer grafis yang kaya akan ide-ide kreatif?

Terlepas dari semua yang saya bilang tadi, tentunya masih ada langkah-langkah yang dapat diikuti untuk mendapatkan banyak ide-ide desain yang kreatif yang bisa kamu gunakan sebagai desainer grafis. Antara lain:

1. Brainstorming / Mind Mapping.

videoblocks-brainstorming-concept-icon-idea-on-chalkboard_srlwaqs0zm_thumbnail-full08

Gambar 3: Ilustrasi dari brainstorming. Kadang hal ini juga disebut sebagai mind map atau peta ide.

Permulaan yang sangat baik dari mencari satu ide itu, adalah mencoba menuliskannya di atas kertas. Ambilah secarik kertas kosong A4 dan pensil atau pena. Lalu mulailah dari tengah. Cobalah pikirkan satu atau beberapa tema atau ide dasar dari desain yang ingin kamu buat.
  • Apakah itu sebuah selera? Contoh: desain elegan, seru, unik, lucu;
  • Apakah itu sebuah gaya atau style? Contoh: vintage, retro, classical, modern, traditional;
  • Apakah itu sebuah tujuan? Contoh: desain mengejutkan, menenangkan, menghibur, memberikan inspirasi;
  • Apakah itu sebuah nama? Contoh: Nirvana, Dystopia, Ishtar, Krakatoa; dsb.
  • Apakah itu sebuah target audience? Contoh: anak-anak SD, mahasiswa laki-laki/perempuan, orang tua yang memiliki hobi tertentu, dsb.

Setelah itu, cobalah cari hal-hal sebanyak-banyaknya yang berhubungan dengan tema atau tujuan tersebut, lalu tuliskan satu per satu. Jika bisa, boleh juga kelompokkan hal-hal tersebut berdasarkan kriteria tertentu, seperti relevansi kepada ide inti itu sendiri, atau tingkat menarik tidaknya hal ini, apakah umum atau tidak di lingkungan sekitar, dsb. Dari situ perlahan-lahan kamu bisa memulai melihat hal apa saja yang bisa dilakukan dari apa yang kamu sudah tuliskan di kertas tersebut.

Brainstorming.jpg

Gambar 4: Kolase contoh-contoh brainstorming untuk berbagai proses desain. Teknik brainstorming bisa digunakan untuk berbagai macam proyek, dari merancang logo, membuat satu karakter ilustrasi original, poster untuk sebuah film, atau menentukan typeface yang tepat untuk satu desain. Gambar dari berbagai sumber.

Jika setelah melakukan hal ini kamu masih tidak ada ide, tidak perlu panik—tujuan dari brainstorming ini adalah memikirkan sebanyak-banyaknya hal-hal yang bisa dipikirkan atau dihubungkan dengan tema atau ide yang kamu sedang coba hasilkan, lalu lihat secara seksama apakah ada ide-ide baru menarik yang bisa kamu coba keluarkan setelah kamu memiliki peta ide tersebut. Jika ternyata di kali pertama kamu tidak ada ide menarik, kamu tinggal coba lagi membuat brainstorming ini dari awal, sampai kamu menemukan ide yang lumayan sreg dengan keinginan kamu. Setelah itu, kamu bisa coba mencoba tahap selanjutnya.

2. Moodboard.

Moodboard itu adalah sebutan untuk satu kumpulan visual-visual yang berkaitan atau memiliki taste dan feel yang serupa dengan desain yang kamu ingin ciptakan. Pada intinya, bentuknya kebanyakan waktu itu akan seperti kolase, di mana satu bidang papan ini akan diisi hal-hal seperti warna-warna yang sesuai dengan tema, visual yang menggambarkan hal-hal yang cocok dengan tema atau tujuan dari desain, palet warna yang digunakan dalam desain itu, dan lain sebagainya.

Moodboards.jpg

Gambar 5: Kolase contoh berbagai macam moodboard. Moodboard juga bisa digunakan dalam berbagai jenis proyek desain selain desain grafis. Gambar dari berbagai sumber.

Jadi di mana dalam tahap brainstorming tadi kamu hanya dituntut untuk membuat peta ide-ide yang berkaitan dengan desain yang ingin kamu buat, di moodboard, ini gilirannya kamu mem-visualisasikan ide atau tema tersebut dengan mengumpulkan contoh-contoh gambar, warna, atau contoh desain dari sumber lain yang bisa kamu gunakan sebagai acuan untuk mengembangkan desain kamu sendiri.

Tentunya dengan ini bukan berarti kamu mau meniru atau plagiat desain orang lain loh yah—yang terpenting dalam membuat moodboard di sini itu kamu hanya ingin mendapatkan contoh atau referensi visual yang cocok, supaya kamu sendiri akan lebih mudah membayangkan dan mengembangkan desain yang asalnya dari ide kamu sendiri.

Memang, mungkin di balik semua ini, ada sebagian dari kamu yang ingin sekali, istilahnya, menciptakan desain yang 101% itu original dari kepala dan tangan kamu. Walaupun itu adalah suatu misi yang keren dan terpuji, tetaplah tidak ada salahnya jika kamu bisa mengumpulkan beberapa referensi visual penting untuk membantu kamu dalam bekerja. Percaya deh, sejatinya originalitas satu desain tidak akan terkompromikan kalau kamu hanya mengacu pada visual atau membuat desain dari inspirasi yang ada. Lain hal memang kalau kamu itu plagiat atau jiplak habis desain orang … kalau tindakan seperti itu memang sudah seharusnya sangat dihindari dalam bidang ini. Lalu, menuju tahap selanjutnya.

3. Sketsa.

Setelah kamu puas mencari ide dasar dan juga mengkompilasi referensi visual yang kamu butuhkan, sekarang waktunya kamu mencoba mengeluarkan desain dan sketsa yang kamu bisa buat dengan mengacu pada 2 hal tersebut.

Sketches.jpg

Gambar 6: Kolase berbagai contoh sketsa untuk proyek desain, mulai dari desain logo, desain poster, dan juga desain untuk konsep karakter. Gambar dari berbagai sumber.

Dalam tahap ini, apa yang kamu coba lakukan adalah mengkombinasikan ide-ide yang sudah kamu kumpulkan di tahap 1 dan referensi visual yang sudah kamu kumpulkan di tahap 2. Tidak usah takut salah atau takut jelek, cobalah saja mengguratkan pensil atau pena kamu untuk mengeluarkan gambar kasar untuk memberi kamu ide dan sejumlah visual yang bisa dikembangkan lagi nantinya. Pada intinya di sini kamu hanya ingin melihat seperti apa ide yang sedang kamu miliki di kepala itu, jika kamu sudah meletakkannya di atas kertas. Setelah ini, suka tidaknya kamu dengan apa yang kamu lihat, kamu minimal sudah memiliki beberapa portfolio yang bisa kamu gunakan untuk berbagai keperluan lain. Jika kamu suka dengan hasil sketsanya, berarti kamu bisa kembangkan lagi ke tahap yang lebih jauh. Jika tidak, tenang saja, dan coba lagi sampai kamu cukup puas dengan apa yang kamu lihat.

Sampai sini beberapa dari kamu mungkin berpikir, kenapa tidak langsung sketsa dulu saja, baru mencari ide dan membuat moodboard? Hal ini dikarenakan, walau tahap sketsa sebetulnya bisa dilakukan juga sebelum melakukan hal-hal lain, dengan melakukan brainstorming dan merancang moodboard terlebih dahulu biasanya akan memudahkan kamu mendapatkan ide-ide dan sketsa yang lebih baik dan terpoles, daripada kamu langsung terjun ke tahap sketsa sebelum kamu tahu betul desain seperti apa yang kamu mau kerjakan.

Tentunya dengan mengikuti tahapan-tahapan ini, ide-ide kreatif itu bukanlah sesuatu yang terjamin atau pasti ditemukan. Daftar ini bukanlah “cara terbaik” atau “satu-satunya jalan” dalam menemukan ide desain kreatif. Semua tahapan yang saya tuliskan di sini hanyalah beberapa cara-cara umum yang bisa dicoba, supaya kamu bisa mengerjakan proyek desain dengan lebih terarah, yang diharapkan bisa membantu kamu mengeluarkan ide kreatif. Bukanlah hal yang terpenting bahwa dengan melakukan semua ini, kamu dijamin mengeluarkan ide-ide kreatif yang bisa direalisasikan menjadi produk desain akhir. Yang terpenting adalah, kamu memiliki proses yang terarah dalam membuat satu desain atau mencoba mengeluarkan ide dan gagasan yang baru.

Proses mencari ide baru dan kreatif itu adalah proses yang sebetulnya cukup kompleks, walau sekilas mungkin terlihat mudah. Tidaklah jarang dalam proses mencari ide kreatif dan satu gagasan desain yang baru itu, kamu bisa gagal atau tidak menemukan ide yang menarik sama sekali setelah melakukan banyak usaha untuk mengeluarkan ide-ide kreatif itu, lalu dipaksa untuk mulai semua lagi dari awal.

Dan jika saja setelah melakukan langkah ini kamu ternyata masih stuck, kamu tidak perlu risau atau panik. Itu hanya berarti kamu harus mencari dan menggali lebih dalam untuk ide-ide kreatif yang kamu mau temukan tersebut. Tidak usah berkecil hati jika setelah kamu sudah capek-capek mengerjakan ini itu, akhirnya semua terasa mubadzir karena hasil yang kamu miliki tidak sesuai harapan kamu. Itu adalah suatu hal yang sangat umum dan normal dalam bidang kreatif seperti desain grafis.

Apapun itu yang bisa saya jamin, tentunya dengan mengikuti langkah-langkah yang lebih konkrit dan terarah, ide yang kamu keluarkan pastinya akan jauh lebih baik dan kreatif, dibandingkan jika saja kamu hanya mendesain dan mencoba membuat gagasan tanpa arah dan mempertimbangkan hal-hal penting dalam pembuatan ide dan gagasan itu.

Catatan Kaki

  1. Posthumous fame of Vincent van Gogh – Wikipedia
  2. Science and inventions of Leonardo da Vinci – Wikipedia
  3. Warunk Upnormal Sukses, Pemiliknya Tetap Sederhana
  4. 8 Cafe Keren Untuk Ngopi Gaul Di Jakarta
  5. Guten Morgen Tomang
  6. Futopia Alam Sutera

Terima kasih untuk permintaan jawabannya:2019-04-04 Pertanyaan Quora 01.PNG

Why should a business consider paying premium for a good graphic designer to design their logo?

Short answer — As far as my knowledge goes, only bigger businesses and/or businesses that deal with high-end clients or luxury services (like 5-stars hotels) would benefit the most from paying premium for a graphic design service. If you’re, say, a start-up on a limited budget, it is a better idea to spend your money elsewhere.

Now this does not mean you should then resort to the cheapest design service you come across—it only means that paying premium for a logo design isn’t the most viable option if you’re just starting out. It’d be a different matter however, if you have the budget and want to ensure everything is done correctly.

Long answer — First of all, it is important to note that company logo design is actually a part of brand identity design. Designing the logo itself is just the very first step in approaching any brand identity design project, since most businesses won’t be able to use a logo on its own without a whole package of branding collaterals to go with the logo, which is the next important aspect of the brand identity as a whole.

Premium brand identity design has its merits, but usually the perks you’ll be having would only be very useful if your business is growing into medium-to-large scale where your branding collaterals becoming more and more important as a part of your overall business presentation. Either that, or you seek sophistication on your branding identity and willing to spend more money, regardless of the size and the type of your business.

homa-branding-collateral-00X.jpg

Image 1: An example of branding collateral for Honolulu Museum of Art. Source.

Another reason why you’d want to go premium is when you’re about to afford business branding for premium services, such as luxury hotels or any other businesses along this line.

sultan_0X.jpg

Image 2: An example of branding collateral for The Sultan Hotel. Source.

In regards to why premium logo design is priced premium—it’s also a matter of the quality of the overall design process.

Although logo design process seemingly isn’t complicated, as any sort of other professional services, the amount of work designers could do will depend highly on 1) how much you want to spend on a logo (budget), 2) the number and/or quality of designer(s) working on the project (human resource) as well as the 3) art director(s) in charge of the project (art direction).

  1. Your budget will determine how much effort being extracted for your project by an agency. It is like how Interior Designers—for example—would propose to you different interior design services and options depending on how much you want to spend on the project. This directly correlates to the factor number (2), which is how big the design agency in question to be able to handle a project of more sophisticated level.
  2. The scale of the graphic design agency you chose would also determine how many people are being allocated to do your project. The more people there are, the more energy and time being put collectively on the project which will improve the quality of the end result as well.Think of it like the way high-budget Hollywood movies have endless list of casts of people working on the movie being scrolled at the end of any movie screening. It’s the same thing as well when it comes to any other media projects, including graphic design.
  3. Last but not least, the art directing of the whole project would also determine the direction of the art-style and overall quality and feel of your logo design and branding.Again, it’s the same thing in parallel to Hollywood movies—it’s like when you have famous movie directors like Guy Ritchie, M. Night Shyamalan or Michael Bay directing a film. These three filmmakers all have different ways of doing their stuff, and each of their movies will show you this. They have very different way of creating their films, all with their own respective end results and which one you like the most, is pretty much for you to decide.In the case of graphic design, the direction in which your branding project is shaping up would also depend on the one(s) in charge of handling your project. You would have to take a look at respective agency’s available portfolio to be able to figure this out, the same way you judge each aforementioned filmmakers’ directing capabilities by watching their movies. Of course, when you have the best people in the field handling your project like that, the price wouldn’t be the same compared to when you let smaller agencies to work on the same project.

Another reason for why you would want to go premium is also in the number of collaterals you could propose being made for your business. Following all the things mentioned earlier—when you have more budget, more people handling the project and a better art direction, you could have more things to be made and handled correctly as a result.

brands_collateral.jpg

Image 3: Examples of more comprehensive branding collateral, which could include all sort of unconventional things such as mugs, shades, T-shirt, matchsticks and others, alongside the standard set of name cards and printed leaflets.Source.

Then, if your business is on the bigger side, you’d probably want to have branding guidelines as well.

Which would give you the necessary resources for you and your business to standardize the entirety of your branding collateral, giving it the necessary consistency to strengthen your brand identity as a whole.

Branding guidelines (or brand style guides) act as a “How-To” guidebook for any aspect of your business to be able to design things the way it was intended to be according to your brand identity. Not rarely, it could also be used as a reference point for any other agencies (the ones not working on your branding) handling more upcoming projects in the future. And in this regard, a good comprehensive brand style guide can only be done when an agency have enough resources to do it right.

Image 4: Few example pages of brand style guide which serves as a reference point on how to do your branding. This includes the allowed color palettes of your brand, positioning of your logos, allowed typefaces to be used in your branding collateral and so on. Images from various sources.

In summary, as mentioned earlier, premium design services definitely have its merits, but the amount of benefit you could take from paying for the premium prices will highly depend on your respective needs and budget as business owners.

In other words, when you afford premium design service, you definitely get more bang for the buck, but whether premium suits your needs or whether you could make use of the more available resources to make the best out of the service, is still something that depends on your aim and requirements as clients.

Footnotes

  1. Brand Collateral | Graphic Design | Persona Design
  2. 21 Brand Style Guide Examples for Visual Inspiration

Thank you for the answer request:

2019-01-30 Quora Question 01.PNG

Apa keluh kesah bekerja menjadi seorang desainer?

Pertanyaan ini menarik, tapi kurang spesifik, karena tidak disebutkan desainer apa yang dimaksudkan di sini. Nah, karena saya seorang Desainer Grafis, jawaban saya nanti akan lebih banyak berkisar di ranah desain grafis saja.

Sebelumnya, sebagai catatan saja—kata “desainer” di sini bisa berarti banyak sekali hal, seperti:

  • Desainer mode/perancang busana (Fashion Designer);
  • Desainer interior (Interior Designer);
  • Desainer situs jejaring (Web Designer);
  • Desainer produk (Product Designer);
  • Desainer animasi (Animator), dsb.

Namun memang kalau saya perhatikan, saat orang mendengar kata “desainer” mungkin cenderung langsung berpikir ke arah desainer grafis atau desainer mode/fesyen, karena sepertinya di Indonesia itu tipe desainer yang lebih umum/menonjol kebanyakan memang kerjanya di bagian grafis dan mode fesyen. Contoh beberapa figur terkenal di dunia desain Indonesia yang saya sering dengar itu, juga rata-rata adalah desainer fesyen/perancang busana seperti Iwan Tirta (desainer batik) atau yang merangkap artis seperti Ivan Gunawan.

Kalau untuk fakultas desain yang saya dalami sendiri—yaitu Desain Komunikasi Visual (atau DKV)—secara garis besar biasanya bisa dikategorikan sebagai berikut:

Types of Designer.PNG

Gambar 1: Tabel perbedaan utama dari Graphic Designer, Interactive Designer dan Motion Graphics Designer yang dikutip dari situs Upwork. Sumber.

Nah, kalau soal fakultas Desain Komunikasi Visual, disamping sejumlah kelebihan bekerja sebagai Desainer Grafis (contoh: bekerja dengan sesama orang kreatif, menemui klien atau proyek menarik dari waktu ke waktu), kalau soal keluh kesah, tentu juga tidak sedikit.

Beberapa di bawah ini adalah kompilasi keluh kesah menjadi seorang Desainer Grafis yang saya kompilasi, berdasarkan pengalaman pribadi dan juga hal-hal lain yang diunggah oleh desainer-desainer grafis lain di ranah daring, baik lokal maupun internasional.

1. Suka dipandang sebelah mata.

Hal ini sudah sangat sering saya jumpai, bahkan sebelum saya lulus kuliah. Tidak usah menunggu “bekerja” pun sudah ada yang namanya stigma tentang bekerja desain, dan ini kebanyakan disebabkan karena orang tidak tahu persis desain grafis itu sebetulnya ilmu seperti apa. Dari pengalaman saya, orang cenderung tidak memandang saya setinggi orang yang bergelut di fakultas lain seperti kedokteran, insinyur ataupun bisnis. Saya juga tidak tahu pasti kenapa ini terjadi, namun dugaan saya sih, mungkin ini pengaruh budaya Asia, di mana desainer itu seringkali dipersepsikan sebagai “seniman” yang entah kenapa konotasinya kadang negatif, dengan alasan “tidak bisa mendapat uang banyak” jika menjadi seniman.

Salah satu contoh nyata—ada beberapa waktu dulu di mana orang sempat bilang, “enak ya, belajar desain, cuma nge-gambar doang”—suatu kalimat yang rasanya tidak terlalu asing bagi siapapun yang sedang kuliah/bekerja sebagai desainer grafis. Tentunya kita-kita yang belajar desain tahu betul bahwa pekerjaan kita itu bukan “cuma” menggambar, dan bahkan juga tidak selalu berkisar di soal menggambar saja—desainer grafis itu sebetulnya lebih banyak bekerja merancang visual untuk keperluan komersial seperti merancang iklan, merancang logo perusahaan, atau mengembangkan konsep untuk keperluan marketing. Jadi sebetulnya yah, kita tidak cuma nge-gambar doang, sih, walau memang tidak sedikit desainer grafis yang akhirnya menggeluti bidang ilustrasi—kalau yang seperti itu tentu akan banyak menggambar, tapi ya bukan “cuma” atau “doang” juga, ilmu menggambar itu.

supergirl_and_streaky_by_artgerm_dbndewr-pre.jpg

Gambar 2: “Supergirl and Streaky” dari DC Universe, oleh Artgerm (Stanley Lau). Mungkin ilmunya harus setingkat suhu Artgerm supaya gak dibilang “cuma gambar doang”. Sumber.

2. Ilmu kamu (atau malah kamu nya) dianggap tidak penting.

Lanjutan dari nomor 1—dampak tidak langsungnya dari poin nomor 1 itu orang lain jadi ada kecenderungan tidak anggap serius pendapat kamu sebagai seorang desainer grafis, atau bahkan sebagai manusia jika sedang berdiskusi di kehidupan sosial. Hal ini agak lucu, tapi sudah saya maklumi karena toh, namanya juga kita hidup bersosial, tidak akan luput dari namanya persepsi umum orang saat mendengar hal-hal tertentu yang mereka mungkin tidak tahu secara menyeluruh.

Contoh pribadi—saya seringkali menemui situasi di mana dalam diskusi kelompok tentang topik apapun itu—dari hal seperti opini tentang situasi sosial, politik, budaya—orang lebih ingin mendengar pendapat dari orang-orang yang punya posisi sosial yang lebih tinggi (orang yang lebih tua) atau orang yang punya profesi yang lebih “intelektual” (dokter, insinyur, pembisnis) daripada saya sebagai seorang desainer. Tentunya saya tidak keberatan jika saya tidak dianggap serius kalau saja topik yang dibahas bukanlah bidang yang saya geluti, namun entah kenapa, selama ini tidak jarang juga saya tidak didengarkan saat diskusinya berkisar di antara topik yang sebetulnya saya pribadi punya pengetahuan lebih, seperti desain itu sendiri, beberapa jenis tren sosial, atau seni dan budaya secara umum. Entahlah ada apa yang terlintas di pikiran masing-masing orang, tapi ya secara tidak langsung, dalam kondisi seperti itu saya berpikir lebih baik diam saja daripada dibilang “sok tahu”, walau kenyataannya mungkin saja sebetulnya terbalik.

3. Memang, menjadi desainer grafis itu tidak selalu untung secara finansial.

Saya seringkali jumpai banyak kasus, bahwa gaji seorang desainer grafis itu tidaklah besar. Ini memang tidak salah. Di negara maju seperti Singapura pun, ini adalah satu masalah sendiri—di mana lulusan fakultas lain seperti engineering atau medicine bisa memberikan kamu upah minimum per bulan yang dimulai dari angka SGD 3,000 (IDR 30 jutaan)[3][4] ke atas, sebagai desainer grafis, mendapat upah SGD 2,000 (IDR 20 jutaan) [5] saja sudah syukur alhamdullilah. Saya juga menemukan tren yang sama di Indonesia [6][7], hanya saja yah, UMR di sini tentunya jauh lebih sedikit dibanding di Singapura.

Gambar 3: Perbandingan gaji tahunan Insinyur Sipil dan Desainer Grafis di Indonesia. Jika dibagi 12 bulan, kurang lebih gaji rata-rata per bulan seorang Insinyur Sipil berada di IDR 8.427.530,75 dan Desainer Grafis di angka IDR 5.044.542,75. Plafon gaji per tahun Insinyur Sipil juga jauh lebih tinggi di angka IDR 358 juta, sedangkan Desain Grafis di angka IDR 122 juta. Data diambil dari situs Payscale per tanggal 14 Januari 2019.

Padahal, kenyataannya, sekolah desain itu tidak terlalu jauh lebih murah [8][9][10][11], apalagi jika ditambah biaya perintilan yang harus dikeluarkan mahasiswa desain seperti pensil, kertas, mencetak berlembar-lembar karya-karya pribadi dan lain sebagainya. Jika ditotal-total, bukan tidak mungkin biaya yang dikeluarkan selama 3–4 tahun kuliah desain itu akan lebih tinggi dari fakultas lain yang kebanyakan mungkin tidak selalu butuh mengeluarkan uang untuk hal-hal macam-macam.

Dan walau kebanyakan orang berpendapat seperti berikut, belajar desain tidaklah juga jauh lebih “mudah” dari fakultas lain seperti kedokteran ataupun insinyur. Memang betul, hal-hal yang dikerjakan di fakultas desain grafis itu tidak terlalu butuh banyak pemikiran atau perhitungan yang rumit (seperti insinyur), dan tidak juga berurusan dengan soal nyawa (seperti dokter), namun bukan hanya karena itu tiba-tiba profesi ini menjadi lebih remeh juga.

Toh, pada akhirnya dalam kehidupan sehari-hari, produk-produk hasil desain itu bisa dijumpai cukup sering, seperti desain iklan di spanduk-spanduk jalanan, desain produk seperti ponsel pintar, desain sepatu terkini anak zaman  now dan berbagai hal berunsur estetika lainnya yang diminati orang-orang dari segala umur. Apalagi zaman sekarang di mana apa yang terlihat itu adalah sesuatu yang sepertinya dijunjung tinggi, apa-apa harus selalu cantik, ca’em, bersinar dan berkilau di segala sudut, saya pikir ilmu merancang visual seharusnya sudah bisa lebih mendapat penghargaan sosial yang minimal lebih banyak. Namun apa yang saya lihat, sepertinya gitu-gitu aja sih. Atau mungkin sudah ada perubahan, tapi saya kurang banyak keluar rumah.



Kalau daftar di atas terlalu serius, di sisi lain, ada juga keluh kesah yang lebih sederhana, lucu dan mungkin lebih menghibur, yang juga menjadi meme tersendiri di kalangan desainer yang ada di ranah daring:

A. Permintaan klien yang terkadang kurang realistis.

Gambar 4: Meme diagram segitiga desain grafis—klien dipaksa harus memilih hanya 2 di antara 3 ekspektasi dalam proses desain, yaitu “Bagus”, “Cepat” atau “Murah”. Sumber.

Diagram di atas ini adalah meme yang cukup populer, kemungkinan hasil buatan desainer/pembuat konten yang mau bercanda berdasarkan pengalaman pribadi ke beberapa klien. Saya tidak tahu siapa yang merancang ini, tapi menurut saya, diagram ini sempurna untuk merangkum salah satu masalah dalam bekerja dengan beberapa macam klien.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang, ada saja klien yang mungkin memiliki ekspektasi terlalu tinggi dalam satu proyek desain, dan terkadang ini menjadi masalah. Sepertinya orang yang mengeluarkan meme ini akhirnya mengunggah ini karena sudah frustasi sekali dengan pekerjaannya. Jadi pada akhirnya, jika mau desain bagus dan cepat, tidak bisa murah; jika mau murah dan cepat, tidak bisa bagus; dan jika mau murah dan bagus, tidak bisa cepat.

B. Revisi tiada akhir.

Gambar 5: Daftar harga jasa desain unik yang menjadi satu meme tersendiri. Perhatikan bagaimana harga jasanya terus naik berbanding lurus dengan besarnya peran klien dalam proses desain itu sendiri. Sumber.

Jika saja ada yang bingung, kok kenapa harga desain nya bertambah terus semakin mahal berbanding lurus dengan seberapa besar keterlibatan klien terhadap satu proyek? Nah, hal ini disebabkan karena ada kasus-kasus di mana satu desain dalam proyek itu terus menerus direvisi ulang oleh pihak klien, sampai-sampai ada satu titik di mana proyek tersebut malah tidak kunjung selesai. Padahal, mungkin saja desainnya bisa rampung pada saat itu juga.

Saya sudah sering dengar bahwa hal ini sudah menjadi sumber kegusaran tersendiri, sampai-sampai ada saja orang yang terpikir untuk membuat tabel desain harga yang seperti itu. Jadi intinya sih, kenapa jasa pertama “I design everything” itu adalah jasa paling murah, disebabkan karena minimnya intervensi dari klien dipercaya bisa mempermudah dan mempercepat semua proses desain dari mulai sampai selesai, jadinya tidak akan sampai terlalu memakan waktu sehingga harganya tentunya lebih murah dibanding jasa yang lainnya.

C. Macam-macam keluhan lainnya.

Yang ini saya kutip langsung dari salah satu post di forum Kaskus:

Entah mesti terkejut atau tidak, ternyata keluhan desainer lokal juga tidak terlalu jauh beda dari desainer-desainer di tempat lain:

Designer Memes.jpg

Gambar 6: Kompilasi keluh kesah desainer grafis lokal. Sumber.

Jadi boleh dibilang, sepertinya keluh kesah menjadi seorang desainer grafis itu tidak mengenal batasan tempat, ruang dan waktu.

Catatan Kaki

  1. What Are the Different Types of Designers? UI Design, Interface Design, Web Design
  2. Sakitnya Tuh Di Sini: Cuma Para Desainer Grafis yang Mengalami 12 Kepahitan Ini
  3. Mechanical Engineer Salary (Singapore)
  4. Physician / Doctor, Internal Medicine Salary (Singapore)
  5. Graphic Designer Salary (Singapore)
  6. Civil Engineer Salary (Indonesia)
  7. Graphic Designer Salary (Indonesia)
  8. 2018 Cost Guide: Singapore Universities’ Tuition Fee Comparison
  9. NAFA Course Fees
  10. Biaya Kuliah di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) TA 2018/2019
  11. Info Terbaru Biaya Kuliah Universitas Tarumanegara (UNTAR)

Terima kasih untuk permintaan jawabannya:

2019-01-14 Pertanyaan Quora.png

What can you tell me about aesthetics as a concept and as a part of life?

I’ve written about something related to this before:

Either way, this question raised certain points I haven’t exactly touched in those answers. So I think I could make this answer as a separate piece.

As someone who works with all things visual, if you ask me, aesthetics is I think, one of the most confusing part of human experience that gets people very conflicted in how to approach them exactly, especially today where people are more hesitant when it comes to expressing something that they see, aesthetically speaking.

judge.jpg

Image 1: “Don’t judge a book by its cover” is a recurring notion that crops up regularly when it comes to the discussion surrounding the value of beauty and aesthetics in our lives.

On one side, you have people who said that we “shouldn’t judge a book by its cover”, or that “beauty is in the eye of the beholder”, then on the other end you have people who see superficiality and vanity as the only way to be accepted in the society at large, or at least exploit these things to get what they want in life. So, having said all that, which one of those positions hold more truth than the other?

Book Covers.jpg

Image 2: A montage of three different cover design of books with exactly the same title and similar imagery. Images taken from Amazon. Which one would you rather pick up in a book store? You decide.

I’d say, neither of them—simply because there are definitely certain standards being set in different contexts in which either of those qualities (superficiality vs. profundity) could play its role in determining how much aesthetics plays role in how we perceive things around us, whether it’s a situation, a person, a product, an occurrence or anything that we could directly appraise by its aesthetic value or lack thereof.

Now getting to the specific sub-question:

What can you tell me about aesthetics as a concept […]?

As a concept, aesthetics is pretty simple:

So according to Wikipedia, The field of aesthetics is basically a “branch of philosophy that deals with the nature of art, beauty and taste and with the creation or appreciation of beauty”, which basically a field of study to examine what kind of things could constitute as something of great aesthetic value, and how to exactly create them in a way that could be defined properly.

In another sense, you could say that it is also a field of study to learn the role of aesthetics in forming ideas in our minds to induce things such as a sentiment (e.g. the whole room looks like it has been decorated by a woman) or a particular taste (e.g. the design of this table looks classy, elegant, etc).

5dabc67d294dccc733cd337e66f4075c.jpg

Image 3: An example of a room that might have been decorated by a woman with a fondness of pastel colors. Source.

This also extends a great deal when it comes to product design. When it comes to designing products, designers are often times would have to consider things such as the target market in which the product is made for. That would include questions like: is this product being made for men? For women? For children? Teenagers? Or adults?

These simple questions would often determine the direction of a product design significantly, since in each respective demographic group, there are certain specific tendencies and taste in things like colors that are widely preferred. So in turn, it is of vital importance for designers to have a good understanding what kind of audience they’re designing something for, since at the end of the day, they have to succeed in convincing that market to purchase those products in the future.

Another consideration for this, is to determine the particular sentiment or feel the product is aiming for. Say, for example, when it comes to the choice of paint color of sports cars. Apart from the original body design of the sports car itself, sometimes which colors provided in a car model and which one to choose would highly dependent on both the manufacturers’ and consumers’ desire respectively.

Manufacturers would often determine which colors available in a car to narrow down the “feel” of the car and how the car should be perceived. Say, a model of a car is only available in bright vivid colors to express liveliness, youth, or sporty look, when other cars might be available in subtler colors such as deep black or pearl white to convey elegance or classiness. Or that a specific model might promote red colored cars more so than others to convey things like bravery or boldness, or even make it as a brand-identifying color, like what Ferrari did with the color red quite successfully in its series of cars.

Sports Cars.jpg

Image 4: A montage of different sports cars of different colors. Images from various sources.

So when it comes to the design process of aesthetics, things are usually quite straightforward—you have a certain audience to design for, a certain standards to be met, and a mission on how to design your product the best you can, and then sell them to the respective audience the product was intended for.

The idea and basic concept of aesthetics is in this regard, running in full execution mode. If you fail to meet certain standards—either it’s the standards set by the brand reputation of the company, or a set of expectations formed by the consumers, your product might not be as successful as your competitors’, and that in turn would affect sales which is not a good thing for any business in a competitive industry.

However, if you speak about aesthetics in a wider scope, this is where things usually got complicated.

What can you tell me about aesthetics […] as a part of life?

Now this is where things usually fall apart, especially today where there are a lot of social discussions when it comes to the appraising the aesthetic value of things like contemporary art and human beauty in general—two topics which have sparked a lot of controversies in recent years.

In my personal view, as a part of life, I think aesthetics plays a very confusing role in forming people’s perception of things, especially when it comes to aesthetics of people, or human beauty, to put it the way it’s commonly referred to. What I meant was, although people seemingly do value and appreciate aesthetics in their daily lives—judging by the way people would decorate their houses in a certain way, decide carefully what to wear to work, fondly adoring famous people such as Hollywood actors and actresses—at the back of it, we as people aren’t exactly comfortable in the idea that human beings might be a bit more superficial than we’d like to think we are. This have led many of us to avoid pointing out the elephant in the room—whatever or whoever that elephant belongs to—that beauty standards at large do shape our perception of how things or (even) people should look like, in ways maybe too subtle for us to notice.

There is a pretty good reason on why people such as the Kardashians could hog so much attention globally, or that Instagram famous is one of the go-to aspirations for hundreds and thousands of people around the globe—it is, I argue, mainly because superficiality does have a huge value in how we perceive things as social creatures, which in turn also shaped our behaviors to accommodate with certain standards set by ourselves, peers, or people that have influence over a large audience such as those celebrities.

Related reading:

At the end of the day, deep down, I think people do realize that the way something (or someone) looks does matter significantly either way. As I elaborated earlier, this shows in several levels, such as when it comes to product design and the significance of things like colors, or how social beauty norms have shaped our behaviors and the way we perceive others in general. This is also arguably why there is a huge library of research, articles and discussions being dedicated in this area all over the place, such as these:

But for subtle yet obvious social-related reasons, talking openly about human beauty isn’t exactly the best move, and could get you in trouble in some cases.

People generally don’t want to be perceived as superficial by their peers, and to express a criticism about the way someone looks—no matter how mild—might not end in the best outcome in most social situations. This predictably creates a very eerie situation at times, where a group of people do see something that might be off with the way someone looks, but are mostly afraid to express them for the fear of being judged by other observers or the recipient itself, or for other less virtuous reasons such as in the cases of bullying—something I’d like to avoid to elaborate for now.

On another side note, it’s somehow a kind of a common knowledge across different social circles, that ‘pretty people’, or genetic lottery winners are most of the times, can be both adored and despised with the same intensity, depending on how each of these people present themselves and how their environment perceive them in general.

If they are lucky, they would have a very supportive environment who would value the way they look as something to be adored, praised and to be thankful for. In other cases, these people might be a source of endless jealousy from their peers, breeding resentment in both themselves for being treated in a certain way and in others too, for the fact that they might not have such beauty possessed by others. This particular issue is quite apparent across any age range too—from age group as young as primary school, highschool, college level education, going up to working adults—it looks like it’s a non-discriminating issue.

Now, when I look at things this way and after all that being said, I can’t help but to think, it surely does look as if it’s a kind of human nature to behave this way—bit too superficial than we’d like to admit—to judge others by the way they look, and treat people differently depending on how they look as well.

I am not particularly sure whether that fact is necessarily a good or bad thing when you look at the big picture, but the takeaway from all of these—at least in my opinion—is that aesthetics does play a huge role in our lives, quite stealthily forming “invisible” standards on how things or people ought to look like, with or without us knowing it. However, when it comes to admitting how much such influence have over us, or how much we are willing to accommodate to those influences, is something that goes back to how each respective individuals would want to deal with it.

Footnotes

  1. Urban Dictionary: Flex
  2. ‘The youngest flexer of the century,’ nine-year-old Lil Tay, has abruptly vanished from the internet
  3. Showing off how rich you are won’t help you make friends
  4. TOP 10 INSTAGRAM MODELS OF 2018 – The Photo Studio
  5. ‘Tapas and cocaine’: Instagram model reveals disturbing secrets behind thin frame
  6. Ferrari Car: Official Website – Ferrari.com
  7. Become Famous on Instagram: The Ultimate Guide for 2018 and 2019

Thank you for the answer request:

2019-01-09 Quora Question 1.PNG

Bisakah kamu menekuni dunia desain grafis tanpa mempunyai keahlian menggambar sama sekali?

Jawaban singkat — Bisa saja, asalkan kamu memiliki niat yang tinggi dan mau belajar. Karena dalam desain grafis, keahlian menggambar itu bukan faktor yang terpenting dalam menentukan sukses tidaknya seseorang dalam bidangnya. Tentu tidak ada salahnya (dan sangatlah baik) jika kamu bisa menggambar, namun dalam fakultas yang satu ini, menggambar bukanlah hal utama yang menjadi fokus pembelajaran kamu. Akan saya jelaskan apa maksud saya di sini.

Jawaban panjang — Pada dasarnya desain grafis itu bukanlah satu fakultas yang membutuhkan keahlian menggambar bagaikan dewa, atau bisa menyaingi pelukis legendaris seperti Pablo Picasso atau Vincent Van Gogh. Tentu adalah sesuatu yang sangat baik jika kamu bisa menggambar, namun jika tidak bisa pun, jika kamu memang mau dan berniat, kamu toh juga masih bisa belajar menggambar. Namun seperti saya jelaskan sedikit sebelumnya, dalam desain grafis kemampuan menggambar itu hanyalah salah satu dari banyak faktor yang menentukan apakah kamu bisa menonjol di antara teman-teman seperjuangan kamu nanti. Faktor lain yang besar juga pengaruhnya adalah keahlian kamu dalam menciptakan konsep kreatif dan juga apakah kamu bisa membuat karakteristik/gaya yang unik dalam karya kamu.

Digital Art Compiled.jpg

Gambar 1: Kompilasi contoh karya desain grafis dari berbagai sumber.

Definisi dari desain grafis secara luas itu sendiri sebetulnya cukup merangkum karakteristik dari fakultas seni komersil ini, yaitu:

Desain grafis adalah suatu bentuk komunikasi visual yang menggunakan gambar untuk menyampaikan informasi atau pesan seefektif mungkin. Dalam disain grafis, teks juga dianggap gambar karena merupakan hasil abstraksi simbol-simbol yang bisa dibunyikan. disain grafis diterapkan dalam disain komunikasi dan fine art. Seperti jenis disain lainnya, disain grafis dapat merujuk kepada proses pembuatan, metoda merancang, produk yang dihasilkan (rancangan), atau pun disiplin ilmu yang digunakan (disain).

Tidak ada disebutkan di situ bahwa kamu dituntut untuk menciptakan mahakarya yang bisa mengguncang dunia, atau ketelitian guratan pensil/kuas tiap kamu membuat karya seni. Pada intinya, yang penting itu adalah bagaimana kamu sebagai desainer grafis bisa menyampaikan informasi / pesan seefektif mungkin melalui bahasa visual. Ini dia kenapa fakultas ini juga sering disebut Desain Komunikasi Visual atau DKV karena pada akhirnya misi besar dalam bidang ini itu adalah:

Apakah kamu mampu membuat visual yang dapat menyampaikan pesan secara efektif dan bermakna?

Lain soal jika kamu memang mau menggeluti bidang seperti ilustrasi, di mana kemampuan menggambar itu adalah salah satu faktor yang sangat penting, dan jika kamu tidak bisa menggambar, itu bisa berarti kamu tidak akan ke mana-mana dalam karir kamu.

Illustration Compiled.jpg

Gambar 2: Kompilasi contoh hasil karya orang-orang yang bergelut di bidang ilustrasi dari berbagai sumber.

Sebetulnya jika ditelaah secara seksama pun, kedua pelukis yang saya sebut di atas (Picasso dan Van Gogh) bukanlah pelukis yang dikenal karena keahlian menggambar mereka seperti halnya Michelangelo—Picasso dan Van Gogh, keduanya dikenal karena konsep dan gaya menggambar (art style) mereka yang unik dan sangat revolusioner pada zamannya. Tentunya pada topik ini, hal ini sangat relevan—para pelukis-pelukis pun yang dituntut kompetensinya dalam menggambar secara khusus tidak harus selalu punya keahlian yang luar biasa untuk bisa menonjol di antara yang lain.

Sebagai contoh, jika kita menengok karya Michelangelo di zaman keemasannya, kita semua akan bisa dibuat takjub dan kagum akan detil dari lukisan dan keahlian sang pelukis menggambar di alas-alas lukis yang tidak biasa, dan tidak jarang juga dia melukis di tempat-tempat yang sangat sulit dijangkau tanpa alat bantu, seperti langit-langit bangunan:

Sistine-Chapel-Ceiling.jpg

Gambar 3: Lukisan langit-langit di Sistine Chapel oleh Michelangelo, Kota Vatikan, 1508-1512. Sumber.

Di sisi lain, jika kita menengok sejumlah karya Picasso atau Van Gogh, yang kita temukan tidaklah sama—lukisan-lukisan terkenal Picasso dan Van Gogh keduanya tidaklah sulit secara teknik maupun eksekusi:

T05010_10.jpg

Gambar 4: Weeping Woman (Wanita Tersendu) adalah salah satu karya buatan Pablo Picasso yang sangat terkenal yang dibuat di tahun 1937. Sumber.

Atau karya ini yang kamu mungkin pernah lihat:

1280px-Van_Gogh_-_Starry_Night_-_Google_Art_Project.jpg

Gambar 5: The Starry Night (Malam Berbintang) oleh Vincent Van Gogh, 1889. Lukisan ini adalah salah satu karya seni Van Gogh yang telah mendunia. Sumber.

Dari sini kamu bisa melihat bahwa dalam segi teknik dan eksekusi, tentu Michelangelo berada di level yang jauh di atas Picasso dan Van Gogh, namun ketiga pelukis ini adalah seniman-seniman legendaris yang memiliki karakteristik masing-masing. Hal ini adalah hal yang cukup penting juga untuk diingat semua praktisi desain dan/atau seni, bahkan sampai ke zaman modern seperti ini—bahwa tidaklah harus terlalu berbakat untuk bisa sukses di bidang yang diminati, jika kemauan untuk berusaha dan berinovasi itu masih ada.

Terutama dalam fakultas desain grafis, faktor konsep dan ide unik di sini justru jauh lebih penting lagi—seperti sudah saya sebut, di bidang ini sebetulnya yang penting itu adalah selera artistik (seperti selera memadukan warna), keahlian kamu mempelajari gerak-gerik pasar komersil (karena desain adalah seni yang digunakan untuk kepentingan komersil) dan juga minat terhadap tren sosial (mempelajari pop culture bisa membuahkan banyak inspirasi). Ini dikarenakan desain grafis itu bukanlah seni halus (fine art) di mana keahlian menggambar itu salah satu bagian terpenting dari penekunan ilmu itu sendiri.

Namun sekali lagi, perlu saya tekankan bahwa bukan artinya tidak bisa menggambar itu tidak apa-apa dalam desain grafis—saya hanya menekankan bahwa di desain grafis, itu bukanlah prioritas utama. Jika kamu bisa menggambar, tentunya ini akan memberikan kamu banyak ruang untuk berkreasi yang lebih luas, dan tentunya juga memberikan kamu keunggulan di antara mereka yang tidak bisa menggambar.

Di sisi lain, jika kamu berada di posisi di mana kemampuan menggambar kamu kurang mumpuni, itu artinya kamu harus bisa berusaha lebih giat dan belajar menemukan karakteristik desain kamu sendiri di mana kamu tidak harus terlalu banyak menggambar. Dengan kata lain, kamu harus bisa tahu di mana kelebihan kamu sembari belajar bagaimana bisa mengatasi kekurangan kamu di saat berkarya. Jika kamu mengerti ini, bukanlah tidak mungkin kamu bisa jauh lebih maju dibanding mereka yang lebih pandai menggambar.

Sample Art Compiled.jpg

Gambar 6: Kompilasi contoh karya desain grafis yang minim ilustrasi. Kamu bisa menggunakan metode-metode lain selain menggambar seperti kolase, membuat gambar dari pola, atau mencampurkan berbagai elemen yang berbeda untuk membuat desain yang apik. Sumber.

Pada akhir kata, seperti halnya juga di bidang lain—seringkali kreativitas untuk berinovasi dan kegigihan dalam berkarya itu yang bisa jadi faktor yang lebih besar dibanding bakat dan talenta saja. Toh pada akhirnya, jika orang yang berbakat itu tidak mengembangkan bakatnya, lama kelamaan dia juga akan tersaingi oleh orang lain yang lebih gigih dalam berkarya.

Jadi jangan berkecil hati dulu—banyak sekali kemungkinan yang bisa kamu ciptakan, jika kamu memang betul-betul mau dan berniat untuk menekuni bidang ini. Apalagi di zaman seperti sekarang ini, kemajuan teknologi juga sudah sangat membantu para desainer dan seniman untuk bisa berkarya lebih mudah lewat program-program canggih (Adobe Photoshop, CorelDraw) dan alat-alat mutakhir (pen grafis Wacom) yang bisa membantu mereka untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan konvensional, seperti di saat-saat semua teknologi ini tidak ada.

Semoga ini membantu.

Catatan Kaki

  1. Desain grafis – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
  2. Pengertian Desain Grafis
  3. What can I do with an illustration degree?

Terima kasih untuk permintaan jawabannya:

2018-11-26 Pertanyaan 1.png

What’s your favourite national flag (aesthetically)?

Originally published on 4 Jan 2018 10:35 AM

There are definitely few favorites.

1. South Korea.

Image 1: Flag of South Korea, also known as the Taegukgi (also spelled as Taegeukgi, literally “supreme ultimate flag”).

Apart from the very cultural Korean look of it, it is actually one of the more distinctive flag of the world, and with good meaning too:

From WikipediaThe circle in the middle is derived from the philosophy of yin-yang and represents balance in the universe. The red half represents positive cosmic forces, and the blue half represents the opposing negative cosmic forces.

Together, the trigrams represent movement and harmony as fundamental principles. Each trigram represents one of the four classical elements […] representing sun, moon, heaven and earth.

That’s very thoughtful, if you ask me.

2. Barbados. Honestly, I don’t even know what country “Barbados” is, but when I see the Trident of Poseidon on a national flag, that’s definitely something.

Image 2: Flag of Barbados. The three points of the trident represent the three principles of democracy: 1) government of the people, 2) government for the people, and 3) government by the people.

I don’t really like the whole democracy rationale thing to go with the flag, but whatever, it still has Trident of Poseidon. It’s cool.

3. United Kingdom. This one is hell of a cheesy choice, but there’s something about the flag of UK and its aesthetics, and its versatility to be used on product design in general.

Image 3: The national flag of the United Kingdom. It is called the Union Jack, also known as the Union Flag. It consists of the red cross of Saint George (patron saint of England), edged in white, superimposed on the Cross of St Patrick (patron saint of Ireland), which are superimposed on the Saltire of Saint Andrew (patron saint of Scotland).

Many graphic designers are probably familiar with the fact that there are wide array of things you could create purely by slapping the flag onto something, as you could see by following this google search link if you’d like to find out what I mean. The flag itself looks good too, and products with the Union Jack are arguably pretty popular in many places, as far as I see it.

And those were 3 of the more aesthetically (or commercially) great flags from my perspective.

Cheers.

Footnotes

  1. Flag of South Korea – Wikipedia
  2. Flag of Barbados – Wikipedia
  3. Flag of the United Kingdom – Wikipedia

Why do some people say beauty is superficial? What do they understand beauty to mean? Would you interpret it in this way?

Originally published on 01 Jan 2018 4:20 PM

Question details: I don’t think beauty is superficial at all. To me it encompasses all art, all passion, the very soul. When people say it is superficial, I’m not sure whether they are meaning the word in a different sense (just like “prettiness”?) or meaning it in the same way but disagreeing with it as a ideal?

Why do some people say beauty is superficial?

As far as I understand this, what people refers to when they say “beauty is superficial”, usually they are talking about “beauty” in terms of human beauty. People often dislike it when people only see others in terms of appearance only, and would often try to make a case where anyone superficially beautiful/handsome somehow ought to have their own unique or distinct shortcomings.

I think it is quite apparent that people tend to look at others in terms of what they see first. It doesn’t really matter how “good” or “bad” you are inside, what you think of yourself and what people thought of you could actually be very different. First impression often plays a great deal in forming the general opinion on someone, and although it is not necessarily the case that people can’t change their minds upon further knowing the person in question, in some cases that initial impression might actually lingered indefinitely.

Question details: I don’t think beauty is superficial at all. To me it encompasses all art, all passion, the very soul. When people say it is superficial, I’m not sure whether they are meaning the word in a different sense (just like “prettiness”?) or meaning it in the same way but disagreeing with it as a ideal?

In this sense, I completely agree. I think in general people only disagree on the sense of “we shouldn’t look upon something solely for the beauty of it” when it comes to people, but are pretty much okay with the idea and/or concept of the “beauty” itself.

Related reading:

As someone working in the design industry myself, it is hard for me to say that beauty, as an ideal or anything else, does not matter. Upon close examination, people should realize how important beauty is when you look at how advertisement agencies are using the most attractive or suitable model they could find on the talent pool, or that we as visual artists would have to make everything look as good as possible—it is mostly because, beauty matters.

What do they understand beauty to mean?

Whatever it is they understand about beauty, whether people like it or not, aesthetic value actually plays a great deal of importance in our lives—from the mundane things like fashion sense, the shoes you wear or your haircut, to the more niche areas like company branding logo, color matching of a product design or maybe the design of a sport car. It is only when human beings are put into the equation (i.e. beautiful people) that the discussion seems to move away from domain of rationality.

Image: Montage of product advertisement materials from various brands.

There are plenty of rules for a successful product presentation, but one thing they all have in common is: they have to look good.

Related reading:

Would you interpret it in this way?

The way I see it, people would go with this notion mainly when there are some unpleasant feelings involved in their decision making process. Whether it’s for some guilt out of sense of superficiality, sense of virtue for relativism or anything else in between, I personally cannot bring myself to agree with the notion that beauty doesn’t matter.

Thanks for the request.

Footnotes

  1. Miss America is scrapping the swimsuit portion from its pageant
  2. Fat pride: The growing movement of people looking for fat acceptance
  3. Model in Gucci Ad Is Deemed ‘Unhealthily Thin’ by British Regulator

How much does language affect our thinking?

Originally published on 27 Nov 2017 2:53 PM

It does, very much so. But I should say, it affects our thinking in too many ways that we can’t always know, especially if you are not a bilingual person.

Recently, I made an answer to a related question, regarding the correlation of language and our perception of colors:

And on the answer, I attached an article to support that:

Excerpt from the article:
Color words are more than a clever way to sell crayons. A study by British researchers suggests that color words in a given language shape human perception of color, perhaps explaining why some native English-speaking children, familiar with the rainbow of colors in the Crayola 64-pack, actually can tell “rust” from “brick” and “moss” from “sage,” while children who grow up speaking languages with fewer color names lump such hues together. […]

The way I understand this, your language will determine the way you see things, the kind of things you see and how many things you see. As for the example of colors, I find this very relatable as well.

English, for example, tend to have more names for different hues of colors.

Image: Different hues and shades of blue and green colors. Although most of these colors are only marginally different, each of those colors are named accordingly. In professional contexts, such as in graphic design, this more comprehensive color naming can be especially useful.

This isn’t the case at all in my native tongue, Indonesian—the language doesn’t have as many color names as I’d like it to be, that as a graphic designer, I have to borrow a lot of English words to explain the very exact colors that I’m referring to.

So yes, in this example of language and color naming, language definitely has a lot to do in the way we see colors and the number of colors we could differentiate between different shades and hues. In other words, the more your language make use of different names to distinguish one color shade over another, the more colors your society will have.

Thank you for the request.

What are the most famous non-traditional art works?

Originally published on 20 Nov 2017 1:01 PM

Depending on where you live, things might be different. But when it comes to popular culture, Barack Obama’s “Hope” 2008 campaign poster, designed by Shepard Fairey, was one of the most famous digital art whose art style can be seen adopted heavily on other following works after the period.

Original artwork of Obama’s “Hope”:

Further reiterations of the same art style from various artists:

Cheers.

Footnotes

  1. Barack Obama “Hope” poster – Wikipedia