Pertanyaan ini menarik, tapi kurang spesifik, karena tidak disebutkan desainer apa yang dimaksudkan di sini. Nah, karena saya seorang Desainer Grafis, jawaban saya nanti akan lebih banyak berkisar di ranah desain grafis saja.
Sebelumnya, sebagai catatan saja—kata “desainer” di sini bisa berarti banyak sekali hal, seperti:
- Desainer mode/perancang busana (Fashion Designer);
- Desainer interior (Interior Designer);
- Desainer situs jejaring (Web Designer);
- Desainer produk (Product Designer);
- Desainer animasi (Animator), dsb.
Namun memang kalau saya perhatikan, saat orang mendengar kata “desainer” mungkin cenderung langsung berpikir ke arah desainer grafis atau desainer mode/fesyen, karena sepertinya di Indonesia itu tipe desainer yang lebih umum/menonjol kebanyakan memang kerjanya di bagian grafis dan mode fesyen. Contoh beberapa figur terkenal di dunia desain Indonesia yang saya sering dengar itu, juga rata-rata adalah desainer fesyen/perancang busana seperti Iwan Tirta (desainer batik) atau yang merangkap artis seperti Ivan Gunawan.
Kalau untuk fakultas desain yang saya dalami sendiri—yaitu Desain Komunikasi Visual (atau DKV)—secara garis besar biasanya bisa dikategorikan sebagai berikut:
Gambar 1: Tabel perbedaan utama dari Graphic Designer, Interactive Designer dan Motion Graphics Designer yang dikutip dari situs Upwork. Sumber.
Nah, kalau soal fakultas Desain Komunikasi Visual, disamping sejumlah kelebihan bekerja sebagai Desainer Grafis (contoh: bekerja dengan sesama orang kreatif, menemui klien atau proyek menarik dari waktu ke waktu), kalau soal keluh kesah, tentu juga tidak sedikit.
Beberapa di bawah ini adalah kompilasi keluh kesah menjadi seorang Desainer Grafis yang saya kompilasi, berdasarkan pengalaman pribadi dan juga hal-hal lain yang diunggah oleh desainer-desainer grafis lain di ranah daring, baik lokal maupun internasional.
1. Suka dipandang sebelah mata.
Hal ini sudah sangat sering saya jumpai, bahkan sebelum saya lulus kuliah. Tidak usah menunggu “bekerja” pun sudah ada yang namanya stigma tentang bekerja desain, dan ini kebanyakan disebabkan karena orang tidak tahu persis desain grafis itu sebetulnya ilmu seperti apa. Dari pengalaman saya, orang cenderung tidak memandang saya setinggi orang yang bergelut di fakultas lain seperti kedokteran, insinyur ataupun bisnis. Saya juga tidak tahu pasti kenapa ini terjadi, namun dugaan saya sih, mungkin ini pengaruh budaya Asia, di mana desainer itu seringkali dipersepsikan sebagai “seniman” yang entah kenapa konotasinya kadang negatif, dengan alasan “tidak bisa mendapat uang banyak” jika menjadi seniman.
Salah satu contoh nyata—ada beberapa waktu dulu di mana orang sempat bilang, “enak ya, belajar desain, cuma nge-gambar doang”—suatu kalimat yang rasanya tidak terlalu asing bagi siapapun yang sedang kuliah/bekerja sebagai desainer grafis. Tentunya kita-kita yang belajar desain tahu betul bahwa pekerjaan kita itu bukan “cuma” menggambar, dan bahkan juga tidak selalu berkisar di soal menggambar saja—desainer grafis itu sebetulnya lebih banyak bekerja merancang visual untuk keperluan komersial seperti merancang iklan, merancang logo perusahaan, atau mengembangkan konsep untuk keperluan marketing. Jadi sebetulnya yah, kita tidak cuma nge-gambar doang, sih, walau memang tidak sedikit desainer grafis yang akhirnya menggeluti bidang ilustrasi—kalau yang seperti itu tentu akan banyak menggambar, tapi ya bukan “cuma” atau “doang” juga, ilmu menggambar itu.
Gambar 2: “Supergirl and Streaky” dari DC Universe, oleh Artgerm (Stanley Lau). Mungkin ilmunya harus setingkat suhu Artgerm supaya gak dibilang “cuma gambar doang”. Sumber.
2. Ilmu kamu (atau malah kamu nya) dianggap tidak penting.
Lanjutan dari nomor 1—dampak tidak langsungnya dari poin nomor 1 itu orang lain jadi ada kecenderungan tidak anggap serius pendapat kamu sebagai seorang desainer grafis, atau bahkan sebagai manusia jika sedang berdiskusi di kehidupan sosial. Hal ini agak lucu, tapi sudah saya maklumi karena toh, namanya juga kita hidup bersosial, tidak akan luput dari namanya persepsi umum orang saat mendengar hal-hal tertentu yang mereka mungkin tidak tahu secara menyeluruh.
Contoh pribadi—saya seringkali menemui situasi di mana dalam diskusi kelompok tentang topik apapun itu—dari hal seperti opini tentang situasi sosial, politik, budaya—orang lebih ingin mendengar pendapat dari orang-orang yang punya posisi sosial yang lebih tinggi (orang yang lebih tua) atau orang yang punya profesi yang lebih “intelektual” (dokter, insinyur, pembisnis) daripada saya sebagai seorang desainer. Tentunya saya tidak keberatan jika saya tidak dianggap serius kalau saja topik yang dibahas bukanlah bidang yang saya geluti, namun entah kenapa, selama ini tidak jarang juga saya tidak didengarkan saat diskusinya berkisar di antara topik yang sebetulnya saya pribadi punya pengetahuan lebih, seperti desain itu sendiri, beberapa jenis tren sosial, atau seni dan budaya secara umum. Entahlah ada apa yang terlintas di pikiran masing-masing orang, tapi ya secara tidak langsung, dalam kondisi seperti itu saya berpikir lebih baik diam saja daripada dibilang “sok tahu”, walau kenyataannya mungkin saja sebetulnya terbalik.
3. Memang, menjadi desainer grafis itu tidak selalu untung secara finansial.
Saya seringkali jumpai banyak kasus, bahwa gaji seorang desainer grafis itu tidaklah besar. Ini memang tidak salah. Di negara maju seperti Singapura pun, ini adalah satu masalah sendiri—di mana lulusan fakultas lain seperti engineering atau medicine bisa memberikan kamu upah minimum per bulan yang dimulai dari angka SGD 3,000 (IDR 30 jutaan)[3][4] ke atas, sebagai desainer grafis, mendapat upah SGD 2,000 (IDR 20 jutaan) [5] saja sudah syukur alhamdullilah. Saya juga menemukan tren yang sama di Indonesia [6][7], hanya saja yah, UMR di sini tentunya jauh lebih sedikit dibanding di Singapura.
Gambar 3: Perbandingan gaji tahunan Insinyur Sipil dan Desainer Grafis di Indonesia. Jika dibagi 12 bulan, kurang lebih gaji rata-rata per bulan seorang Insinyur Sipil berada di IDR 8.427.530,75 dan Desainer Grafis di angka IDR 5.044.542,75. Plafon gaji per tahun Insinyur Sipil juga jauh lebih tinggi di angka IDR 358 juta, sedangkan Desain Grafis di angka IDR 122 juta. Data diambil dari situs Payscale per tanggal 14 Januari 2019.
Padahal, kenyataannya, sekolah desain itu tidak terlalu jauh lebih murah [8][9][10][11], apalagi jika ditambah biaya perintilan yang harus dikeluarkan mahasiswa desain seperti pensil, kertas, mencetak berlembar-lembar karya-karya pribadi dan lain sebagainya. Jika ditotal-total, bukan tidak mungkin biaya yang dikeluarkan selama 3–4 tahun kuliah desain itu akan lebih tinggi dari fakultas lain yang kebanyakan mungkin tidak selalu butuh mengeluarkan uang untuk hal-hal macam-macam.
Dan walau kebanyakan orang berpendapat seperti berikut, belajar desain tidaklah juga jauh lebih “mudah” dari fakultas lain seperti kedokteran ataupun insinyur. Memang betul, hal-hal yang dikerjakan di fakultas desain grafis itu tidak terlalu butuh banyak pemikiran atau perhitungan yang rumit (seperti insinyur), dan tidak juga berurusan dengan soal nyawa (seperti dokter), namun bukan hanya karena itu tiba-tiba profesi ini menjadi lebih remeh juga.
Toh, pada akhirnya dalam kehidupan sehari-hari, produk-produk hasil desain itu bisa dijumpai cukup sering, seperti desain iklan di spanduk-spanduk jalanan, desain produk seperti ponsel pintar, desain sepatu terkini anak zaman now dan berbagai hal berunsur estetika lainnya yang diminati orang-orang dari segala umur. Apalagi zaman sekarang di mana apa yang terlihat itu adalah sesuatu yang sepertinya dijunjung tinggi, apa-apa harus selalu cantik, ca’em, bersinar dan berkilau di segala sudut, saya pikir ilmu merancang visual seharusnya sudah bisa lebih mendapat penghargaan sosial yang minimal lebih banyak. Namun apa yang saya lihat, sepertinya gitu-gitu aja sih. Atau mungkin sudah ada perubahan, tapi saya kurang banyak keluar rumah.
Kalau daftar di atas terlalu serius, di sisi lain, ada juga keluh kesah yang lebih sederhana, lucu dan mungkin lebih menghibur, yang juga menjadi meme tersendiri di kalangan desainer yang ada di ranah daring:
A. Permintaan klien yang terkadang kurang realistis.
Gambar 4: Meme diagram segitiga desain grafis—klien dipaksa harus memilih hanya 2 di antara 3 ekspektasi dalam proses desain, yaitu “Bagus”, “Cepat” atau “Murah”. Sumber.
Diagram di atas ini adalah meme yang cukup populer, kemungkinan hasil buatan desainer/pembuat konten yang mau bercanda berdasarkan pengalaman pribadi ke beberapa klien. Saya tidak tahu siapa yang merancang ini, tapi menurut saya, diagram ini sempurna untuk merangkum salah satu masalah dalam bekerja dengan beberapa macam klien.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang, ada saja klien yang mungkin memiliki ekspektasi terlalu tinggi dalam satu proyek desain, dan terkadang ini menjadi masalah. Sepertinya orang yang mengeluarkan meme ini akhirnya mengunggah ini karena sudah frustasi sekali dengan pekerjaannya. Jadi pada akhirnya, jika mau desain bagus dan cepat, tidak bisa murah; jika mau murah dan cepat, tidak bisa bagus; dan jika mau murah dan bagus, tidak bisa cepat.
B. Revisi tiada akhir.
Gambar 5: Daftar harga jasa desain unik yang menjadi satu meme tersendiri. Perhatikan bagaimana harga jasanya terus naik berbanding lurus dengan besarnya peran klien dalam proses desain itu sendiri. Sumber.
Jika saja ada yang bingung, kok kenapa harga desain nya bertambah terus semakin mahal berbanding lurus dengan seberapa besar keterlibatan klien terhadap satu proyek? Nah, hal ini disebabkan karena ada kasus-kasus di mana satu desain dalam proyek itu terus menerus direvisi ulang oleh pihak klien, sampai-sampai ada satu titik di mana proyek tersebut malah tidak kunjung selesai. Padahal, mungkin saja desainnya bisa rampung pada saat itu juga.
Saya sudah sering dengar bahwa hal ini sudah menjadi sumber kegusaran tersendiri, sampai-sampai ada saja orang yang terpikir untuk membuat tabel desain harga yang seperti itu. Jadi intinya sih, kenapa jasa pertama “I design everything” itu adalah jasa paling murah, disebabkan karena minimnya intervensi dari klien dipercaya bisa mempermudah dan mempercepat semua proses desain dari mulai sampai selesai, jadinya tidak akan sampai terlalu memakan waktu sehingga harganya tentunya lebih murah dibanding jasa yang lainnya.
C. Macam-macam keluhan lainnya.
Yang ini saya kutip langsung dari salah satu post di forum Kaskus:
Entah mesti terkejut atau tidak, ternyata keluhan desainer lokal juga tidak terlalu jauh beda dari desainer-desainer di tempat lain:
Gambar 6: Kompilasi keluh kesah desainer grafis lokal. Sumber.
Jadi boleh dibilang, sepertinya keluh kesah menjadi seorang desainer grafis itu tidak mengenal batasan tempat, ruang dan waktu.
Catatan Kaki
- What Are the Different Types of Designers? UI Design, Interface Design, Web Design
- Sakitnya Tuh Di Sini: Cuma Para Desainer Grafis yang Mengalami 12 Kepahitan Ini
- Mechanical Engineer Salary (Singapore)
- Physician / Doctor, Internal Medicine Salary (Singapore)
- Graphic Designer Salary (Singapore)
- Civil Engineer Salary (Indonesia)
- Graphic Designer Salary (Indonesia)
- 2018 Cost Guide: Singapore Universities’ Tuition Fee Comparison
- NAFA Course Fees
- Biaya Kuliah di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) TA 2018/2019
- Info Terbaru Biaya Kuliah Universitas Tarumanegara (UNTAR)
Terima kasih untuk permintaan jawabannya: